Bijak
dalam menggunakan obat herbal
Tanaman obat atau obat herbal
yang sering disebut sebagai jamu bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat
Indonesia. Berbagai jenis obat herbal telah dikenal sejak dahulu, menjadi
bagian budaya nasional maupun kebanggaan bangsa, & merupakan pengobatan
warisan turun-temurun di berbagai suku yang ada di Indonesia. Kadang, beberapa
obat herbal memiliki nilai mistik tertentu ditambah berbagai cerita legenda
yang menyertainya.
Dengan kemajuan ilmu pengetahuan,
beberapa jenis obat herbal telah diteliti khasiat & keamanannya, sehingga
termasuk dalam standar pengobatan kedokteran modern ataupun diteliti kandungan
zat aktifnya untuk dijadikan obat modern. Sebagai contoh, obat Quinine (pil
kina) untuk pengobatan infeksi malaria yang berasal dari pohon kina (Cinchona),
menjadi salah satu komoditas ekspor utama negeri kita di zaman kolonialisme
Belanda.
Pemerintah melalui Badan Pengawas
Obat & Makanan (BPOM) untuk menjaga keamanan masyarakat yang menggunakannya
telah memberikan registrasi khusus bagi obat herbal terstandar dengan
registrasi TR (tradisional). Berbagai publikasi pun telah diterbitkan sebagai
sosialisasi jenis, khasiat, & cara pengolahan berbagai jenis obat herbal
asli Indonesia. Obat herbal pada saat ini telah menjadi industri dengan omzet
trilyunan rupiah setiap tahunnya, menyerap banyak tenaga kerja & menjadi produk
ekspor penghasil devisa.
Dalam era globalisasi, selain
jamu, masyarakat pun mulai mengenal berbagai obat herbal dari berbagai negara
lain, baik itu yang berasal dari Asia Timur & Selatan, ataupun yang berasal
dari negara-negara Barat. Berbagai perusahaan suplemen makanan &
multi-level marketing (MLM) kesehatan berskala global ikut mendorong
penyebarannya dengan menjual berbagai suplemen makanan dari obat herbal di
Indonesia. Obat herbal dari luar negeri sebagian besar masuk/dibuat sebagai
suplemen makanan dengan kode MD/ML dari BPOM.
Obat herbal, selain banyak
dikenal karena merupakan pengobatan turun-temurun di berbagai suku bangsa, juga
banyak disukai karena dianggap lebih aman dari obat-obatan modern yang dianggap
berbasis bahan kimia. Klaim ‘tanpa efek samping’ sering disebutkan dalam
promosi obat herbal, meskipun sebagian besar klaim tersebut tidak mencantumkan
bukti hasil penelitian ilmiah sebagai dasarnya.
Selain itu, muncul pula berbagai
klaim bahwa obat herbal efektif untuk pengobatan berbagai penyakit, dari mulai
penyakit ringan sampai penyakit yang serius & mematikan seperti hepatitis,
kanker, sampai HIV/AIDS. Iklan obat herbal yang mencantumkan klaim pengobatan
jika tidak memiliki bukti ilmiah yang mendukungnya adalah suatu hal yang tidak
etis & bisa dianggap sebagai penipuan.
Pada tahun 2008, Departemen
Kesehatan AS melalui National Center for Complimentary & Alternative
Medicine (NCCAM) secara resmi mengeluarkan buku petunjuk obat herbal berjudul
‘Herbs at a Glance’. Dalam buku tersebut dibahas mengenai berbagai obat herbal
yang banyak beredar di AS, yang sebagian besar ada & telah dijual pula di
Indonesia, misalnya daun lidah buaya, ginseng, bilberry, echinacea, efedra,
bawang putih, jahe, ginkgo, teh hijau, noni/mengkudu, kedelai, kurkuma, dst.
NCCAM selama beberapa tahun
terakhir telah melakukan penelitian sendiri maupun bekerja sama dengan berbagai
lembaga lain untuk mengetahui efektivitas & keamanan berbagai obat herbal.
Hasil berbagai penelitian tersebut menunjukkan bahwa banyak klaim mengenai
keampuhan obat herbal untuk pengobatan berbagai penyakit sebagian besar tidak
benar, sedangkan sebagian lainnya belum berhasil ditemukan buktinya.
Beberapa obat herbal terbukti
memiliki efek samping yang cukup serius atau dapat mengganggu kesehatan penggunanya
sehingga tidak boleh digunakan secara sembarangan. Selain itu, banyak obat
herbal belum diteliti keamanannya untuk digunakan oleh ibu hamil & anak,
sehingga tidak dianjurkan untuk digunakan oleh ibu hamil & anak.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan
pun belum meneliti mengenai keamanan penggunaan obat herbal dalam waktu yang
lama, sementara banyak orang di Indonesia justru menggunakan obat herbal secara
rutin atau dalam waktu yang panjang.
Sebagian besar obat herbal juga
belum banyak diteliti interaksinya dengan obat herbal jenis lain ataupun obat
modern. Sedangkan justru saat ini sangat banyak produk obat herbal dijual dalam
bentuk racikan dari berbagai jenis obat herbal atau digunakan bersama dengan
obat modern, baik yang dijual bebas ataupun resep dokter, sehingga harus
digunakan dengan hati-hati untuk mencegah interaksi obat yang merugikan
penggunanya.
Untuk obat-obat herbal yang telah
terbukti efektif untuk mencegah atau mengobati penyakit, masih banyak yang
belum dapat ditentukan dosis (takaran) yang tepat dari segi jumlah, frekuensi,
maupun lama penggunaan sehingga efektif & aman digunakan tanpa menimbulkan
efek samping yang serius.
Mengingat bahwa banyak obat
herbal merupakan obat asli kebanggaan Indonesia yang diwariskan turun-temurun,
digunakan luas oleh masyarakat, & telah menjadi industri, pemerintah harus
lebih serius dalam mengawasinya disertai melakukan penelitian untuk efektivitas
& keamanannya, sesuai dengan pasal 47 UU no.23/1992 tentang Kesehatan.
Industri obat herbal pun harus
mengedepankan pendekatan ilmiah dalam meneliti, membuat, & memasarkan
produk-produknya untuk menghindari penipuan & kerugian konsumen. Pengujian
obat seharusnya dilakukan secara ilmiah, bukan dilakukan menjadikan masyarakat
sebagai obyek coba-coba atau menunggu penggunanya menjadi korban.
Bagi masyarakat, sebaiknya
gunakan obat herbal dengan bijak. Hal ini untuk menghindari efek samping yang
dapat mengganggu kesehatan ataupun merugikan secara materi. Banyak produk obat
herbal gencar diiklankan di berbagai media atau dipasarkan ‘dari pintu ke
pintu’ dengan harga yang mahal, namun efektivitas & keamanannya belum dapat
dibuktikan secara ilmiah.
MENGAIL IKAN DI AIR KERUH PENGOBATAN TRADISIONAL
Ketika sakit, tentunya semua
orang harus berobat agar kembali bisa sehat. Adalah hak setiap orang untuk
bebas memilih hendak berobat ke mana, sesuai dengan keinginan &
kemampuannya. Sistem kesehatan Indonesia juga mengakomodasi berbagai sistem
pengobatan, dari mulai pengobatan dengan ilmu kedokteran modern, pengobatan
tradisional, sampai alternatif-komplimentari dari dalam & luar negeri.
Seluruh pengobatan di luar ilmu
kedokteran & keperawatan menurut pasal 47 UU no.23/1992 tentang Kesehatan
digolongkan sebagai pengobatan tradisional, termasuk pengobatan alternatif-komplimentari
yang saat ini banyak pula dijual dengan pola multi-level marketing (MLM).
Dari semua sistem pengobatan
tersebut, sejauh ini pemerintah baru serius mengatur, mengawasi, & membina
sistem pengobatan menurut ilmu kedokteran modern. Ini ditandai dengan munculnya
berbagai peraturan perundangan yang mengatur praktik tenaga kesehatan, beserta
pelayanan kesehatan & sarananya. Sementara, untuk pengobatan tradisional,
relatif belum tersentuh secara spesifik oleh pengaturan, pengawasan, &
pembinaan pemerintah.
Meskipun dalam UU no.23/1992
pengobatan tradisional diatur dalam suatu bab khusus mengenai pengobatan
tradisional, tetapi pada kenyataannya sampai saat ini hal-hal yang telah diatur
dalam pasal-pasal tersebut kurang dilaksanakan oleh pemerintah. Yang selama ini
terlihat adalah pemerintah hanya bersikap reaktif dengan melakukan penyitaan
& pelarangan ketika obat tradisional diketemukan mengandung bahan kimia
obat.
Industri pengobatan tradisional
di negeri ini yang beromzet trilyunan rupiah setiap tahunnya tentu menarik
banyak pihak untuk terjun ke dalamnya. Hal ini dimanfaatkan banyak pihak yang
memiliki maksud kurang baik untuk ‘mengail di air keruh’ pengobatan tradisional
akibat tidak tegasnya pemerintah dalam menegakkan hukum & akhirnya
masyarakat terus menjadi korban atau dirugikan baik secara fisik maupun materi.
Sebenarnya, telah banyak
pengobatan tradisional seperti contohnya berbagai jenis jamu yang sebenarnya
telah terbukti secara ilmiah. Namun akhirnya ikut kurang dipercaya masyarakat
akibat tiadanya penegakkan hukum untuk menertibkan pengobatan tradisional yang
berpotensi merugikan masyarakat.
Pemerintah terkesan membiarkan
ketika saat ini banyak pengobatan tradisional marak diiklankan di berbagai
media massa & mendapat publikasi di media cetak atau elektronik. Sebagai
contoh, pada saat ini berbagai pengobatan tradisional memiliki jam siar secara
rutin di berbagai stasiun radio atau televisi swasta & milik pemerintah
yang bersifat lokal maupun nasional.
Dalam jam siaran tersebut, para
pengisi acara secara aktif memberikan penjelasan, konsultasi, & saran
pengobatan pada pemirsa. Sebagian pengisi acara ada yang menggunakan pakaian,
peralatan, & metode kerja yang biasa digunakan oleh dokter. Atau kadangkala
juga mengundang dokter sebagai narasumber untuk lebih meyakinkan pemirsanya.
Acara-acara tersebut biasanya disertai pula oleh berbagai kesaksian
keberhasilan pengobatan yang telah dilakukan.
Di media cetak, berbagai
pengobatan tradisional memasang banyak iklan & memiliki rubrik konsultasi
tersendiri. Dalam iklan-iklan yang dimuat, mayoritas pengobatan tradisional
mengeluarkan klaim bahwa pengobatannya efektif untuk berbagai macam penyakit
disertai kesaksian dari para penggunanya yang dikatakan telah sembuh dari
penyakit yang dideritanya. Berbagai iklan tersebut biasanya dilengkapi pula
oleh pernyataan bahwa produk/pengobatannya telah memperoleh izin dari
pemerintah, seperti Badan Pengawas Obat & Makanan (BPOM). Hal-hal tersebut
secara sepintas terkesan seperti hal yang biasa-biasa saja, namun sebenarnya
telah terjadi berbagai pelanggaran hukum.
Penggunaan pakaian, peralatan,
atau metode kerja yang biasa digunakan oleh dokter oleh seseorang yang bukan
dokter adalah pelanggaran terhadap pasal 73 & 77-78 UU no.29/2004 tentang
Praktik Kedokteran yang melarang siapapun yang bukan seorang dokter untuk
menggunakan identitas, alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan
pada masyarakat seperti seorang dokter.
Banyak produsen obat tradisional
pun melakukan kebohongan terhadap masyarakat dengan menyebutkan bahwa produknya
terdaftar di BPOM & dapat mengobati berbagai penyakit. Tetapi tidak
disebutkan bahwa produk mereka bukan terdaftar sebagai obat, melainkan hanya
terdaftar sebagai suplemen makanan yang tidak boleh dipublikasikan sebagai
suatu obat yang dapat mengobati penyakit tertentu.
Dokter pun ikut ‘memperkeruh’
suasana ini dengan turut mendukung, mempraktikan, atau menjual berbagai
pengobatan tradisional yang tidak memiliki dasar ilmiah demi menambah
penghasilan. Hal ini sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap pasal 51a UU
no.29/2004 yang menyatakan bahwa dokter hanya boleh memberikan pelayanan sesuai
standar profesi & prosedur operasional. Sejauh ini, masih jarang pengobatan
tradisional yang masuk ke dalam standar profesi dokter & prosedur operasional.
Berbagai kesaksian pengguna yang
dipublikasikan juga mengesankan bahwa suatu pengobatan tradisional terbukti
ampuh untuk mengobati berbagai penyakit. Tetapi, kesaksian pengguna bukanlah
bukti secara ilmiah yang dapat diterapkan pada orang lain dengan cara yang
sama. Seharusnya bukti keberhasilan suatu pengobatan didapat dari suatu
penelitian ilmiah yang dilakukan secara obyektif & dihitung dengan
statistik, bukan sekadar kesaksian pengguna yang mungkin hanya suatu kebetulan
belaka.
Masyarakat ingin menjadi sehat
dengan berbagai macam cara, termasuk melalui pengobatan tradisional. Beberapa
jenis pengobatan tradisional pun merupakan warisan & kebanggaan bangsa.
Sudah seharusnya hal ini didukung oleh pemerintah untuk mencegah
korban/kerugian di masyarakat dengan penelitian-pengembangan pengobatan
tradisional disertai penegakkan hukum, sehingga tercipta masyarakat yang sehat
& produktif untuk kemajuan bangsa.
No comments:
Post a Comment